Jumat, 09 Desember 2011

APA DALAM LOGAM SERATUSAN

Aku bangga pada diriku hari ini. Bangga tidak menyia-nyiakan uang sekecil apapun nilainya. Mungkin beberapa orang menertawakanku dalam hati sore tadi. Di tengah antrian panjang kendaraan di gerbang keluar kampus, aku menepikan motorku, turun dari kendaraan itu lalu jongkok, memungut beberapa uang logam. Uang logam itu jatuh dari dompetku ketika aku hendak memperlihatkan STNK motor pada Satpam. Uang yang hanya bernilai seratusan rupiah.
Agak malu aku melakukannya tetapi kemudian aku menjadi tak tahu malu, karena aku tahu bagaimana rasanya mencari uang. Rasanya “bagai kuda, dicambuk dan di dera” ujar Band Gigi. Perlu mata berkantung untuk mendapatkan uang senilai itu. Hampir setiap malam kuhabiskan waktuku untuk melumat laporan kerja di kantor sampai menderita panas dalam, sesak nafas, dan nyeri lambung parah. Perlu menjadi orang yang hampir gila ketika sudah dekat deadline. Perlu kerelaan untuk meminimalkan waktu mandi dan makan setiap hari. Perlu kerelaan untuk melepas kecantikan dibakar panas matahari saat bekerja di lapangan. Ya, memang nilai yang aku dapat jauh berlipat-lipat dari nilai uang logam yang jatuh itu, tapi tetap saja, aku tak rela hasil kerjaku terbuang sia-sia. Tak rela aku jika mengingat kerasnya banting tulang-dagingku untuk mendapatkan uang itu. 
Aku tak peduli dengan beberapa mahasiswa di belakang yang melihatiku. Mungkin dalam hati mereka pikir aku kere. Ya, aku kere, makanya aku banting tulang cari uang. Mungkin dalam hati mereka pikir aku pelit. Ya, aku pelit, karena dibalik uang tiga ratus ribu itu ada keringat, waktu, tenaga, pikiran, dan kesehatan yang kukorbankan untuk mendapatkannya.
*Dipublikasikan dalam Talk Show bertema "The Power of  Diary" pada Islamic Book Fair, Aula Skodam, Malang, 4 Desember 2011