Sabtu, 25 Februari 2012

[SATU JAM MENULIS SERENTAK MILAD FLP SEDUNIA] ORANG-ORANG WARNA

Dua orang : A dan B berseragam putih abu-abu memasuki ruangan. Mereka duduk di antara orang-orang yang duduk, juga di antara kuning-kuning. Kuning pada kaos seorang yang sedang berkoar-koar di depan. Kuning pada yang tergantung di tiang-tiang di kiri dan kanan layar. Juga kuning pada spanduk-spanduk kuning. Kuning yang disertai sebuah pohon hijau.

Tidak hanya itu, A dan B juga tergabung dalam ajang peras keringat untuk meningkatkan profesionalisme diri.

Katanya, ini demisebuah kesempatan dan sebuah harga (katanya harga mati). Tapi apa yang ada dalam diri dan pikiran A dan B berbeda. Kita lihat hasilnya.


Waktu 1
A dan B memeras keringat dan pikiran di sebuah ruang, sebuah pembuktian skill kerja dasar. Katanya, ini jada orang-orang kuning.


Waktu 2
Bendera merah, kunig, hijau, bahkan pelangi berkibaran.
Hari 1 : konser lautan merah
Hari 2 : dangdutan lautan kuning
Hari 3 : konvoi orang-orang hijau


Waktu 3
A dan B memasuki ruang bertirai, persegi panjang
A : melobangi bahu orang berjas kuning
B : melobangi bahu orang berjas warna lain

Waktu 4
 A : memeras otot di suatu ruang lalu menerima gaji di waktu-waktu tertentu
 B : tunjuk ini, tunjuk itu, berdiri di depan kumpulan orang yang berdiri dan bekerja di suatu ruangan, lalu memberi gaji di waktu-waktu tertentu

Waktu 5
 A : di tengah lautan penentang orang kuning, dengan poster dan spanduk orat oret
 B : tunjuk ini, tunjuk itu, berdiri di depan kumpulan orang yang berdiri dan bekerja di suatu ruangan, lalu memberi gaji di waktu-waktu tertentu

Waktu 0
- Waktu 0 milik A adalah ketika berada di sebuah ruang di tengah kuning-kuning, B juga ikut saat itu
- Waktu 0 milik B adalah berada di depan TV dan koran-koran, memperhatikan apa yang terjadi pada orang-orang berwarna



WISATA BUDAYA SUKU DAYAK PONDOK DAMAR*

 Mayoritas penduduk Desa Pondok Damar merupakan Suku Dayak Ngaju. Mayoritas penduduk tersebut merupakan pemeluk Agama Kaharingan. Memasuki Desa Pondok Damar, suasana religi Agama Kaharingan begitu terasa bagi saya.
Liburan ramadhan tahun lalu saya habiskan dengan berwisata budaya, desa di Kalimantan Tengah. Desa Pondok Damar, yang berada 55 Km dari Kota Sampit. Perjalanan ke desa itu dapat dilakukan dengan menggunakan mobil. Desa Pondok Damar merupakan desa yang masih kental dengan adat-istiadat Suku Dayak. Hal ini sesuai dengan mayoritas penduduk desa tersebut yang merupakan Suku Dayak.
Mayoritas penduduk Desa Pondok Damar merupakan pemeluk Agama Kaharingan. Agama tersebut termasuk ke dalam Agama Hindu. Memasuki permukiman penduduk, suasana religi Agama Kaharingan begitu terasa bagi saya. Dengan keramahan penduduknya, saya menikmati suasana permukiman yang terdiri dari rumah panggung tersebut.
Saya lalu mengunjungi kediaman salah satu perangkat Desa Pondok Damar, Bapak Nengadi. Beliau merupakan Kepala Urusan (Kaur Umum) yang mendampingi saya mengunjungi ruang-ruang religi Desa Pondok Damar. Beliau yang kemudian menjelaskan kepada saya terkait objek-objek Agama Kaharingan yang saya kunjungi berikut ini.

Rumah Panggung
Rumah panggung merupakan model mayoritas rumah di Desa Pondok Damar. Lantai rumah penduduk pada umumnya berada lebih dari 40 cm dari bahkan mencapai 1 m dari permukaan tanah. Bagian bawah lantai dasar tersebut merupakan ruang kosong. Untuk mencapai teras atau pintu rumah, pada umumnya terdapat anak tangga pada bagian depan rumah tersebut.

Sapundu
Pertama kali memasuki area permukiman Desa Pondok Damar, saya terkesan dengan tiang-tiang yang terdapat di sebagian besar rumah penduduk. Bahan tiang tersebut ialah kayu ulin yang dapat bertahan hingga ratusan tahun.
“Tujuannya ya, agar tahan lama.” Jelas Bapak Nengadi kepada saya saat kami mengunjungi area pemakaman.
Tiang-tiang tersebut dibentuk menjadi manusia yang berdiri di atas linkaran kayu. Tinggi tiang tersebut berbeda-beda. Wujud manusia pada tiang tersebut dilukis dengan cat kayu menjadi wujud seni yang cantik. Manusia tersebut dilukis menjadi bag menggunakan pakaian khas Suku Dayak.
Sapundu dibuat saat persiapan pemakaman atau upacara kematian jenazah yang disebut upacara tiwah. Sapundu dibuat berpasangan yang sebagian diletakkan di samping Sandung dan sebagian lainnya, yang merupakan tempat mengikat hewan kurban pada upacara tiwah, diletakkan pada lokasi lainnya. Setiap Sapundu yang diletakkan di samping Sandung dihadapkan ke arah matahari terbenam atau ke arah barat. 
Sapundu yang dipersiapkan untuk mengikat hewan kurban dan Sandung 




Sapundu yang diletakkan di samping Sandung 

Raong
Selain Sapundu, terdapat rumah kecil di halaman depan, di hampir semua rumah penduduk. Rumah kecil ini disebut raong (baca: raung). Pada raong tersebut terdapat kendi atau wadah abu jenazah. Raong merupakan salah satu jenis sandung.
Raong 
Balai Basarah dan Balai Ritual
Dari kediaman Bapak Nengadi, saya diantar untuk mengunjungi tempat ibadah Agama Kaharingan di Desa Pondok Damar tersebut. Tempat sederhana tersebut disebut dengan Balai Basarah. Kepada saya, Bapak Nengadi menjelaskan terkait kitab yang digunakan Agama Kaharingan, yaitu Kitab Panaturan. Selain Balai Basarah, saya juga didampingi untuk  mengunjungi Balai Ritual. Pada balai ini dilakukan rapat-rapat adat. 
Balai Basarah di Desa Pondok Damar

Balai Ritual di Desa Pondok Damar
 Sandung Tulang
Bagian paling menarik dari perjalanan saya ini ialah saat mengunjungi area pemakaman pemeluk Kaharingan tidak jauh dari permukiman penduduk. Area pemakaman ini berlokasi tepat di seberang Balai Ritual dan Balai Basarah. Pada area ini terdapat Rumah-Rumah Betang mini yang terbuat dari kayu ulin. Masing-masing rumah dilukis dengan motif yang berbeda-beda. Rumah inilah yang disebut Sandung Tulang, yaitu tempat tulang belulang jenazah. Tempat ini diperuntukkan bagi satu keluarga yang mengikuti garis keturunan ayah.
“Hanya ahli waris yang berhak masuk ke dalam situ.” Kata Bapak Nengadi.
Di samping kiri dan kanan Sandung terdapat tiang Sapundu. Pada Sandung tersebut juga terdapat keranjang yang dibuat dari bambu. Tanggal wafat jenazah tertera pada Sandung tersebut. Sandung juga dibuat dengan Kayu Taliben. Tidak heran jika terdapat Sandung yang usianya sudah ratusan tahun.


Berbagai tipe Sandung di Desa Pondok Damar
 
Lungun
Ketika saya berkunjung ke desa tersebut upacara tiwah bagi salah satu penduduk tengah dipersiapkan. Sayapun berkunjung ke rumah duka. Di ruang depan rumah panggung tersebut, lungun (peti jenazah) diletakkan. Lungun  tersebut berbentuk seperti perahu mini yang dilukis pada bagian luarnya. Pada lungun inilah jenazah disemayamkan sembari menunggu hari pemakaman atau upacara tiwah tiba. 



*Dipublikasikan di Majalah Solid Edisi 51/2012

Kamis, 16 Februari 2012

WADONAN UNTUK ANUGERAH

Dingin, menusuk sampai ke tulang rasanya. Segar. Aroma alam yang menyejukkan. Naik turun bergelombang perjalanan ini. Di daratan berbukit itu. Harum aroma badan sapi. Harum aroma…kotorannya. Inilah desa penghasil biogas, Desa Bendosari.
Mata-mata itu melihat kami seolah rombongan festival yang ramai. Ya, memang ramai, tapi bukan festival. Kalah dari ramainya hajatan yang sedang diselenggerakan di tanah sapi itu. Mata itu ketika bersitatap dengan mata kami, bagai perintah untuk menampilkan senyum dan menganggukkan kepala. Hangat ramah masyarakatnya di balik usia kanak-kanak sampai tua bangka.
Mereka berduyun-duyun. Barisan depan sumringah, tampil cantik dan tampan dengan hiasan-hiasan wajah sampai badan. Pakaian adat bermacam-macam yaang menunjukkan identitas ‘Wong Jowo’. Dari tingkat kemewahan terlihat barisan depan itu petinggi-petinggi desa. Lalu rakyat jelata dengan membawa hasil bumi mengekorinya.
Aku dan teman-teman tertarik untuk mendekat ke Tempat Kejadian Per…eh bukan! Upacara! Tanganku langsung tergerak untuk merogoh recorder di tas cangkolongku. Sebagai seorang jurnalis, aku dituntut untuk selalu membawanya. Ah…. Kucari siapa tokoh adatnya.
Sebuah prosesi menarik pun diselenggarakan pada Selasa Kliwon di Bulan Julhijah itu. Sebuah upacara yang disebut Bersih Desa. Tapi bukannya membersihkan selokan, menyapu jalan, dan sebagainya. Tapi, membersihkan diri dari sifat takabur akan nikmat Yang Kuasa.
Kemarin mereka berduyun-duyun ke sumber kehidupannya. Sumber air…. Sebut saja Sumber Air Anugerah namanya. Mereka menanam tiang-tiang Bumi. Pepohonan yang kelak akan menjadi kekar bugar, penyimpan air yang kaya. Rasa syukur itu ialah rasa syukur atas sumber air yang mereka miliki itu.
“Setiap malam akan digelar acara tahlilan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. sambil mendoakan pemuka-pemuka desa kami yang telah wafat.” Ujar Pak Kades itu kepada para wartawan termasuk aku.
Kupikir, religi, jiwa keagamaan, keislaman masyarakat desa ini cukup besar. Tapi tungggu dulu!
Kerbau yang diarak itu telah dikuliti. Di sekitarnya menjadi harum amis. Tapi anugerah bagi penduduk desa karena sebentar lagi dagingnya akan segera mereka nikmati. Mereka bagikan daging kerbau betina itu. Tapi…. Hanya saja…. WADONAN…. Kelamin betina…. Kerbau itu. Tak turut menjadi hidangan bagi penduduk. Tapi… menjadi hidangan bagi…. Sumber Air Anugerah! Si Anugerah! Bukan hidangan. Tapi SESAJI! PERSEMBAHAN! Ada apa dengan itu???
“Nah, kalau yang itu saya tidak tahu maknanya. Yang jelas, itu adalah tradisi yang tidak bisa ditinggalkan.” Terang Pak Kepala Suku, eh… tokoh adat perihal wadonan alias kelamin betina itu.
Akupun menerawang tentang ulama-ulama yang menyebar Islam dengan wayang. Akupun teringat akan kotroversi tahlil, antara Islam dan budaya nenek moyang, Hindu-lah, atau animisme yang belum bisa ditinggalkan. Yang konon katanya, ada yang menyebut sirik itu. Apakah “wadonan” dalam syukur yang terwujud pula dengan reboisasi itu sama halnya dengan yang itu? Wadonan…. Ah…. Syukur…. Ah…. Reboisasi…. Ah…. Air…. Ah! Sumber kehidupan Ah! Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah.
Ditulis oleh: Ummu Rahayu pada 6 Maret 2011 (10 besar Kompetisi Menulis Flash Fiction On The Spot, Forum Lingkar Pena Malang)