Kamis, 16 Februari 2012

WADONAN UNTUK ANUGERAH

Dingin, menusuk sampai ke tulang rasanya. Segar. Aroma alam yang menyejukkan. Naik turun bergelombang perjalanan ini. Di daratan berbukit itu. Harum aroma badan sapi. Harum aroma…kotorannya. Inilah desa penghasil biogas, Desa Bendosari.
Mata-mata itu melihat kami seolah rombongan festival yang ramai. Ya, memang ramai, tapi bukan festival. Kalah dari ramainya hajatan yang sedang diselenggerakan di tanah sapi itu. Mata itu ketika bersitatap dengan mata kami, bagai perintah untuk menampilkan senyum dan menganggukkan kepala. Hangat ramah masyarakatnya di balik usia kanak-kanak sampai tua bangka.
Mereka berduyun-duyun. Barisan depan sumringah, tampil cantik dan tampan dengan hiasan-hiasan wajah sampai badan. Pakaian adat bermacam-macam yaang menunjukkan identitas ‘Wong Jowo’. Dari tingkat kemewahan terlihat barisan depan itu petinggi-petinggi desa. Lalu rakyat jelata dengan membawa hasil bumi mengekorinya.
Aku dan teman-teman tertarik untuk mendekat ke Tempat Kejadian Per…eh bukan! Upacara! Tanganku langsung tergerak untuk merogoh recorder di tas cangkolongku. Sebagai seorang jurnalis, aku dituntut untuk selalu membawanya. Ah…. Kucari siapa tokoh adatnya.
Sebuah prosesi menarik pun diselenggarakan pada Selasa Kliwon di Bulan Julhijah itu. Sebuah upacara yang disebut Bersih Desa. Tapi bukannya membersihkan selokan, menyapu jalan, dan sebagainya. Tapi, membersihkan diri dari sifat takabur akan nikmat Yang Kuasa.
Kemarin mereka berduyun-duyun ke sumber kehidupannya. Sumber air…. Sebut saja Sumber Air Anugerah namanya. Mereka menanam tiang-tiang Bumi. Pepohonan yang kelak akan menjadi kekar bugar, penyimpan air yang kaya. Rasa syukur itu ialah rasa syukur atas sumber air yang mereka miliki itu.
“Setiap malam akan digelar acara tahlilan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. sambil mendoakan pemuka-pemuka desa kami yang telah wafat.” Ujar Pak Kades itu kepada para wartawan termasuk aku.
Kupikir, religi, jiwa keagamaan, keislaman masyarakat desa ini cukup besar. Tapi tungggu dulu!
Kerbau yang diarak itu telah dikuliti. Di sekitarnya menjadi harum amis. Tapi anugerah bagi penduduk desa karena sebentar lagi dagingnya akan segera mereka nikmati. Mereka bagikan daging kerbau betina itu. Tapi…. Hanya saja…. WADONAN…. Kelamin betina…. Kerbau itu. Tak turut menjadi hidangan bagi penduduk. Tapi… menjadi hidangan bagi…. Sumber Air Anugerah! Si Anugerah! Bukan hidangan. Tapi SESAJI! PERSEMBAHAN! Ada apa dengan itu???
“Nah, kalau yang itu saya tidak tahu maknanya. Yang jelas, itu adalah tradisi yang tidak bisa ditinggalkan.” Terang Pak Kepala Suku, eh… tokoh adat perihal wadonan alias kelamin betina itu.
Akupun menerawang tentang ulama-ulama yang menyebar Islam dengan wayang. Akupun teringat akan kotroversi tahlil, antara Islam dan budaya nenek moyang, Hindu-lah, atau animisme yang belum bisa ditinggalkan. Yang konon katanya, ada yang menyebut sirik itu. Apakah “wadonan” dalam syukur yang terwujud pula dengan reboisasi itu sama halnya dengan yang itu? Wadonan…. Ah…. Syukur…. Ah…. Reboisasi…. Ah…. Air…. Ah! Sumber kehidupan Ah! Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah.
Ditulis oleh: Ummu Rahayu pada 6 Maret 2011 (10 besar Kompetisi Menulis Flash Fiction On The Spot, Forum Lingkar Pena Malang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar