Pulang kampung
kali ini terasa berbeda. Saat membaca aksi Komunitas Anak Muda Pecinta
Lingkungan di sebuah koran, saya tiba-tiba punya ide. Rencana ini sebenarnya
sudah lama ada di kepala, sejak bergabung dengan Move Indonesia di event Green School Festival (GSF). Cuma,
masih belum ketemu cara murah meriah untuk menerapkan Eco-mapping di Kota Sampit.
Saya
pikir, ini saatnya membagi ilmu gratis tanpa rempong. Artinya, saya tidak perlu
membuat proposal, negosiasi ke mana-mana, dan sebagainya. Saya telusuri
seberapa jauh komunitas ini sudah berjalan. Seberapa besar kegiatan dan materi
yang diberikan.
Awalnya,
sekedar berbagi apa yang pernah saya pelajari saat kuliah dan nimbrung jadi
juri di lomba eco-mapping untuk
sekolah-sekolah se-Kota Malang. Iseng-iseng tidak berhadiah begitu.
Saya like laman facebook-nya, saya add pembinanya.
Saya tuturkan keinginan via inbox.
Alhamdulillah, beliau yang bernama Suwarno, seorang guru ini sangat welcome. Besoknya kami bertemu di
markas, bersama Pembina lainnya, Bapak Kholid, jurnalis sebuah media massa.
Diputuskan,
kegiatan berlangsung dua hari tidak penuh. Wilayah studi di area Taman Kota
Sampit. Saya punya waktu dua hari membuat materi. Modul GSF saya sederhanakan
lagi dalam power point, juga saya
sesuaikan dengan konteks ruang publik.
Sore
Sabtu itu, saya presentasikan sekilas teori lingkungan hidup serta kondisi
dunia saat ini. Terkait eco-mapping,
saya jelaskan sembilan isu yang pernah digunakan Move Indonesia untuk berbagai
sekolah di Kota Malang. Gambar, contoh masalah, potensi, dan penyebab saya
perdalam lagi. Saya tambah dengan topik yang belum pernah diberikan pada
anggota KANCIL. Misalnya, Earth Hour, diet kantong plastik, aksi cabut paku, mengapa sampah harus dipisah, dan lain-lain.
Sesi Materi di Markas Kancil (dok. kancil) |
Malamnya,
saya siapkan peta dan karton. Satnite saya
lewati dengan mengumpul foto kondisi terbaru taman. Pulang ke rumah, citra di-trashing menggunakan ArcGIS. Sempat
bingung mau pakai A3 atau A4. Mana ada jasa printing
kertas besar di kota ini, apalagi tengah malam. Mau memaksa cetak besar,
takut tinta printer tak kuat. Jadi,
A4 saja lah.
Hari
kedua, Minggu pagi, di tengah kabut, kami beraksi. Sebagian besar peserta tidak
hadir saat sharing materi kemarin. Saya
membawa bahan-bahan yang mampu saya bawa, pembina juga membantu perlengkapan
lainnya. Sama-sama swadaya.
Setelah
briefing, para laskar itu merayap,
mencari masalah dan potensi lingkungan hidup Taman Kota Sampit. Karena sumber
daya yang terbatas, satu kelompok memegang dua isu. Dengan masker mereka
berdiskusi.
Awalnya
banyak yang bingung bagaimana mempraktikkan metode ini. Bagaimana
menuliskannya? Dengan panah. Apa yang harus ditulis? Oh, ternyata ada masalah
yang belum kalian sadari. Oh, ternyata sisi ini ada potensi tersembunyi. Wah,
kalian melewatkan kondisi gawat. Hei, satu kelompok menemukan bungkus obat
terlarang.
Briefing dan menyiapkan perlengkapan. (dok. kancil) |
Tiap kelompok memetakan isu lingkungannya. (dok. kancil) |
Seharusnya,
peserta membuat skoring saat melihat
suatu kondisi. Rupanya, semua kelompok baru bisa melakukannya pada sesi diskusi
tim. Karena kurangnya peralatan, kode masalah kami ganti dengan tanda silang
pada lingkaran skoring. Potensi
ditulis dengan centang atau cek.
Kami
tidak melakukan penilaian aksi karena KANCIL baru pada tahap pemetaan.
Sementara, di GSF, peserta juga mulai melakukan perbaikan lingkungan. Penjurian
lomba mencakup sejauh mana usaha dan partisipasi warga sekolah untuk memecahkan
masalah dan memanfaatkan potensi.
Ada
sensasi tersendiri rasanya, ke sana-kemari mendatangi tiap kelompok, memancing
ide mereka. Asap sedikit pudar kala siang makin naik. Mereka mulai membicarakan
sebab masalah dan solusi tiap kondisi. Beberapa grup agak kaku dalam membagi
porsi kerja. Seorang leader bingung
memancing anggotanya untuk berpikir.
Sekali-sekali mengarahkan. (dok. kancil) |
Hingga
tiba saatnya, mau tidak mau semua harus presentasi, meski ada yang belum sampai
pada tahap ide. Tiap tim mempresentasikan hasil temuannya. Prosedur ini beda
dengan sistem dari Move Indonesia. Sebenarnya, mereka harus rolling tim dalam waktu 2-3 menit tiap
putaran. Ada penjaga dan pengunjung stand.
Agar
peserta lebih mudah paham, kami putuskan presentasi bergilir, ada sesi tanya
jawab. Beberapa kelompok punya ide lebih luas, seperti memasang alat siram
otomatis. Ada kelompok yang tidak menyadari panel surya.
Beberapa
salah kaprah mana ekspektasi, mana solusi. Sadarnya masyarakat memang jadi
tujuan, tapi bagaimana cara menyadarkannya? Satu kelompok menitik-beratkan pada
sanksi pemerintah. Ada juga yang berpikir masalah disebabkan kurang perhatian
dinas terkait.
Presentasi yang penuh canda. (dok. ummu) |
Senang
rasanya melihat anak-anak muda ini berdebat saat sesi tanya-jawab. Sebagian
memberi masukan ide dan menyesuaikan dengan temuan kelompoknya. Dua sampai tiga
anak dominan mendebat kawannya.
Senang
rasanya melihat pemikiran kritis itu. Mengapa Anda hanya memikirkan sanksi?
Bukankah kesadaran harus datang dari hati? Mengapa Anda hanya bisa menyalahkan
pemerintah? Apa yang bisa Anda lakukan untuk menyelesaikan masalah ini? Sudahkah
memulainya di rumah?
Hahahaha,
apalagi, diskusi dilakukan dengan ceria, dalam suasana humor. Renyah tapi tetap
berkualitas. Pak Suwarno membiarkan saja, barangkali agar naluri kritis mereka
terasah.
Memang,
metode yang diberikan pada siswa ini lebih menekankan pada ide jangka pendek.
Apa yang bisa dilakukan sementara ini? Solusi yang tidak perlu banyak uang tapi
lebih efektif. Jadi pemikiran tidak melulu berujung pada beli, beli, dan beli.
Hari
semakin panas. Lucunya, semua memayungkan karton ke kepala, tapi masih semangat
berdebat. Dukung saja.
Meski panas menyengat, tangan semangat terangkat: interupsi! (dok. ummu) |
Praktik
kali ini hanya sampai pada peta tiap isu. Keterbatasan waktu membuat peta
kesimpulan belum memungkinkan dibuat. Mereka bisa melanjutkan di markas pada
pertemuan selanjutnya, termasuk menghias peta.
Saya
kira, ilmu ini hanya sampai pada KANCIL saja. Alhamdulillah, ada rencana dari
kedua pembina untuk mendorong peserta menerapkan eco-mapping di sekolahnya. Mudah-mudahan kegiatan ini bisa jadi
lomba antar-sekolah juga.
Alhamdulillah,
metode ini dipandang tepat untuk siswa-siswi merencanakan pengelolaan
lingkungan hidup di sekitarnya. Pemetaan tersebut sejatinya pelajaran saya di
kuliah (Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota) dengan tahap analisa yang lebih
kompleks. Syukurlah ada yang menyederhanakan teknik ini untuk SD hingga SMA.
Eco-mapping dalam GSF
sudah dibakukan namanya menjadi Green Environmental Mapping (GreEnvilMap). Semoga
metode ini semakin merebak di Kota Sampit.