Sabtu, 21 Juli 2012

BAPALAS DAN BATASMIYAH


(Dimuat di Majalah CORET, Al Akfar Putra Indonesia, Edisi Juli 2012)
Bapalas dan batasmiyah? Apa itu? Mari ikut saya menyelami salah satu harta budaya di Kalimantan Tengah, yaitu tradisi pemberian nama anak, bapalas dan batasmiyah.
Saya langsung meluncur ke kediaman Ibu Hj. Diang di Gang Rahimah, Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, begitu mendengar acara ini akan dilaksanakan. Perangkat bapalas dan batasmiyah sudah disiapkan di ruang belakang, berikut para tamu yang telah hadir saat saya tiba di rumah beliau. Tempat yang juga digelar Maulid Nabi Muhammad SAW. itu dihiasi bunga-bunga.
Tradisi bapalas dan batasmiyah sejatinya merupakan tradisi yang berbeda namun seringkali dilaksanakan satu paket. Tradisi bapalas merupakan tradisi berterima kasih kepada bidan yang telah membantu proses kelahiran sang bayi. Lain dengan batasmiyah, tradisi ini ialah pemberian nama bayi dengan pembacaan Ayat Suci Al-Qur’an.
Pada tempat acara, saya menemukan beberapa perangkat seperti peduduk, ayunan, dan perangkat tampung tawar. Rupa-rupanya, peduduk ini merupakan hadiah untuk sang bidan. Tuangkan beras kurang lebih 1 kg, letakkan kelapa tua di atasnya, jadilah perangkat peduduk. Sabut kelapa tua haruslah dikupas terlebih dahulu dengan menyisakan bagian atasnya. Pada sabut bagian atas tersebut, ditusukkan jarum yang telah dipasangi benang. Di sekeliling kelapa diletakkan asam jawa, garam, laos, kunyit, dan bawang bersaudara (bawang merah dan bawang putih) secukupnya.  Pasangan peduduk ialah sajian ketan yang diletakkan satu butir telur di tengah permukaannya.
Bukan ayunan sembarang yang digunakan pada tradisi ini. Ayunan merupakan kain kuning yang dilapisi kain lainnya, kemudian digantung. Ayunan dipasangi hiasan yang terbuat dari daun kelapa atau daun rumbia. Hiasan tersebut terdiri dari berbagai macam bentuk seperti keris, payung, bola, belalang, ular, atau anyaman lainnya. Hiasan lainnya ialah bunga dan buah-buahan. Rangkaian bunga yang terdiri dari cempaka, kaca piring, kenanga, pandan, dan lain-lain ini dijalin dengan daun kelapa. Buah-buahan bisa berupa kelengkeng dan rambutan. Hiasan bunga dan buah-buahan disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah. Namun, yang seharusnya ada ialah pisang.
Ayunan pada Acara Bapalas dan Batasmiyah
Sebelum acara bapalas dimulai, bayi terlebih dahulu dimandikan dengan air bunga. Pada acara yang digelar di rumah Ibu Hj. Diang ini, bayi dimandikan pada sore hari. Hal ini berkaitan dengan acara yang akan digelar malam hari. Jika acara digelar siang hari, bayi dapat dimandikan pagi harinya.
Doa-doapun mulai dibacakan, berikut sholawat. Pada waktu yang telah ditentukan, bayi yang direbahkan pada bantal, digendong sang ayah di tengah para tamu lelaki. Ayat Suci Al-Qur’an pun dibacakan, berikut pemberian nama.
Saya harus ikut berdiri ketika para undangan berdiri untuk mengucapkan sholawat sembari bayi mungil dalam gendongan ayahnya dibawa kepada para tamu satu per satu. Inilah saatnya tradisi tampung tawar, yaitu masing-masing tamu membubuhkan minyak boreh ke kepala bayi dan menggunting sedikit rambutnya. Gunting ditempatkan di dalam kelapa kuning tanpa membuang airnya. Minyak boreh yang digunakan dicampur dengan air dan diletakkan beserta daun pisang yang digunakan untuk menabur minyak di kepala bayi. Sholawat diakhiri setelah bayi sudah dimampirkan ke semua tamu.
Perangkat Tampung Tawar
Saya agak kaget, setelah proses tampung tawar, ayunan kemudian dirubungi tamu wanita. Buah-buahan yang menggantung pun menjadi rebutan. Buah-buahan tersebut dipercaya membawa berkah atau sebagai penerang hati jika dimakan.
Sesi selanjutnya ialah mengayun bayi oleh sang ibu sembari para tamu kembali memanjatkan doa. Menurut Ibu Galuh, salah satu kerabat pada acara tersebut, ayunan baru boleh dilepas tiga hari setelah acara dilaksanakan.
Bayi yang Telah Ditampung Tawar Diayun
Acara ditutup dengan hidangan-hidangan. Hem.. Inilah saat menyenangkan bagi saya, menikmati hidangan khas bapalas, yaitu kue cucur, apem, ketan, dan inti (kelapa parut yang dicampur gula merah).
Lalu bagaimana jika kelahiran dibantu pihak rumah sakit?
“Peduduk diberikan ke kerabat yang dituakan.” Jawab Galuh yang berperan membantu pekerjaan dapur.
Tradisi bapalas dan batasmiyah merupakan tradisi Suku Banjar (Kalimantan Selatan) yang juga banyak tinggal di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. atas kelahiran sang bayi dan mengharapkan keberuntungan selalu menyertainya. 
Download 2B, Novel Karya Maulida Azizah dan Ummu Rahayu di http://pustaka-ebook.com/pnbb-e-book-22-2b-sebuah-novel/

Senin, 26 Maret 2012

SEJARAH TAK SELAMANYA HARUS DIUKIR DENGAN MENULIS


Banyak orang mentakan jika ingin badai dalam sejarah dunia maka menulislah. Atau ilmu seperti sayur bening tanpa garam jika tidak dibagi melalui tulisan. Atau ilmu akan percuma jika tanpa dituliskan, dibagikan. Benarkah? Saya rasa itu hanya semacam pemikiran konvensional.
Banyak orang berilmu, termasuk para profesor yang dapat dengan brilian mengemukakan gagasannya secara lisan di hadapan orang banyak misalnya seminar. Namun, jika harus menuangkan gagasannya dalam tulisan, beliau-beliau seperti bertemu kekakuan. Lalu, haruskah orang-orang brilian itu dipaksa menulis? Mengapa tak dioptimalkan saja potensi penuturan gagasannya lewat lisan itu?
Menurut saya, ini hanya terkait dengan kreativitas seseorang. Ketika seseorag yang berilmu ingin membagikannya sebaai bekal ke akhirat, haruskah hanya dengan tulisan? Ini era sudah teramat canggih dimana seseorang dapat membuat video lalu mengunggahkanya. Video itu dapat diunduh oleh sembarang orang lewat internet. Dengan begitu, seseorang yang berkemampuan lisan dapat dengan bebas membagi ilmu dan gagasannya kepada khalayak.
Lalu bagaimana dengan hak cipta? Semua banyak alternatifnya. Ketika buku dapat dijual dengan nomos seri karya yang resmi artinya sebuah CD atau DVD juga dibuat seperti itu, seperti yang selama ini telah berlaku. Bagi yang ingin sukarela bisa mencontoh e-book yang dapat diunduh gratis di dunia maya, berarti begitu juga dengan video.
Memang, pembagian ilmu dan gagsan akan lebih luas cakupannya jika dibagikan melalui tulisan. Ini karena saudara kita yang bertempat di wilayah aksesibilitas sulit ataupun menengah ke bawah tak memiliki player.  Semua ada kurang dan lebihnya, tergantung sasarannya. Bukankah penuturan ilmu dengan lisan dapat menjangkau saudara yang tunanetra?

MEMBACA ITU KUNCINYA MENULIS, MAKSUDNYA?


Banyak yang mengatakan bahwa jika ingin menjadi penulis maka banyak-banyaklah membaca. Itu dikatakan oleh sesepuh-sesepuh penulis dari organisasi yang saya geluti dan beberapa bacaan. Oke, awalnya saya menuruti petuah itum tetapi akhirnya saya bingung.
Saya bingung denan apa yang dimaksud menulis tidak lepas dari membaca. Jadilah, ketika saya telan mentah-mentah, saya membaca apa saya membaca apa saja termasuk koran, majalah, buku nonfiksi, atau fiksi yang saya suka, padahal, saya sedang menulis novel genre tertentu. Lalu saya bingung bagaimana bacaan-bacaan itu kemudian berpengaruh pada saya. Bukankah setelah berlama-lama membaca koran saya akan terpengaruh gaya bahasa yang sama saat akan menulis novel? Hem… sepertinya ada kesalahan. Lalu saya memutuskan untuk yakin saja dengan petuah-petuah itu. Siapa tahu tanpa sadar saya akan ketularan teknik mengemukakan pikiran dan sistemtika dar apa-apa yang telah saya baca. Tapi, tidakkah itu hanya bermanfaat sekian persen untuk novel saya? Tidakkah lebih baik saya fokus untuk membaca novel ber-genre sama? Aha! Itulah yang kemudian saya temukan.
Suatu kali saya membaca sebuah buku berjudul “Mind Writing” karya Herien Priyono yang diterbitkan Leutika. Pada halaman 131, saya kutipkan isinya:
“Sudah saya tandaskan sebelumnya: menulis harus dipautkan dengan kegiatan membaca.
Stop di sini. Inilah yang seringkali diucapkan sesepuh penulis dan buku bacaan pada umumnya. Tapi ada yang berbeda:
“Dan membaca, tak lain adalah bercermin terhadap karya orang dan karya kita sendiri.
Ya, ketika membaca, maka secara tidak langsung Anda telah menajdikan buku yang Anda baca sebagai mentor sementara Anda.”
Aha! Di situlah saya mendapat ilham. Saya seperti mendapat jawaban. Dari situ saya simpulkan bawha ketika saya hendak menulis jenis tertentu maka saya harus banyak-banyak membaca tulisan sejenis sebagai guru saya. Ini bisa dianalogikan dengan peran seorang guru. Tidak mungkin bukan, jika seseorang yang hendak menjadi ahli Matematika lalu dia belajar kepada ahli Biologi? Maka, saya percaya bahwa gaya bahasa, teknik menuturkan gerak, dialog, dan sebagainya terkait jenis tulisan yang sama akan menulari saya lewat alam bawah sadar saya. Begini proses saya belajar menulis. Bagaimana proses Anda? Adakah tips lainnya yang kiranya dapat Anda bagikan kepada saya?

Sabtu, 25 Februari 2012

[SATU JAM MENULIS SERENTAK MILAD FLP SEDUNIA] ORANG-ORANG WARNA

Dua orang : A dan B berseragam putih abu-abu memasuki ruangan. Mereka duduk di antara orang-orang yang duduk, juga di antara kuning-kuning. Kuning pada kaos seorang yang sedang berkoar-koar di depan. Kuning pada yang tergantung di tiang-tiang di kiri dan kanan layar. Juga kuning pada spanduk-spanduk kuning. Kuning yang disertai sebuah pohon hijau.

Tidak hanya itu, A dan B juga tergabung dalam ajang peras keringat untuk meningkatkan profesionalisme diri.

Katanya, ini demisebuah kesempatan dan sebuah harga (katanya harga mati). Tapi apa yang ada dalam diri dan pikiran A dan B berbeda. Kita lihat hasilnya.


Waktu 1
A dan B memeras keringat dan pikiran di sebuah ruang, sebuah pembuktian skill kerja dasar. Katanya, ini jada orang-orang kuning.


Waktu 2
Bendera merah, kunig, hijau, bahkan pelangi berkibaran.
Hari 1 : konser lautan merah
Hari 2 : dangdutan lautan kuning
Hari 3 : konvoi orang-orang hijau


Waktu 3
A dan B memasuki ruang bertirai, persegi panjang
A : melobangi bahu orang berjas kuning
B : melobangi bahu orang berjas warna lain

Waktu 4
 A : memeras otot di suatu ruang lalu menerima gaji di waktu-waktu tertentu
 B : tunjuk ini, tunjuk itu, berdiri di depan kumpulan orang yang berdiri dan bekerja di suatu ruangan, lalu memberi gaji di waktu-waktu tertentu

Waktu 5
 A : di tengah lautan penentang orang kuning, dengan poster dan spanduk orat oret
 B : tunjuk ini, tunjuk itu, berdiri di depan kumpulan orang yang berdiri dan bekerja di suatu ruangan, lalu memberi gaji di waktu-waktu tertentu

Waktu 0
- Waktu 0 milik A adalah ketika berada di sebuah ruang di tengah kuning-kuning, B juga ikut saat itu
- Waktu 0 milik B adalah berada di depan TV dan koran-koran, memperhatikan apa yang terjadi pada orang-orang berwarna



WISATA BUDAYA SUKU DAYAK PONDOK DAMAR*

 Mayoritas penduduk Desa Pondok Damar merupakan Suku Dayak Ngaju. Mayoritas penduduk tersebut merupakan pemeluk Agama Kaharingan. Memasuki Desa Pondok Damar, suasana religi Agama Kaharingan begitu terasa bagi saya.
Liburan ramadhan tahun lalu saya habiskan dengan berwisata budaya, desa di Kalimantan Tengah. Desa Pondok Damar, yang berada 55 Km dari Kota Sampit. Perjalanan ke desa itu dapat dilakukan dengan menggunakan mobil. Desa Pondok Damar merupakan desa yang masih kental dengan adat-istiadat Suku Dayak. Hal ini sesuai dengan mayoritas penduduk desa tersebut yang merupakan Suku Dayak.
Mayoritas penduduk Desa Pondok Damar merupakan pemeluk Agama Kaharingan. Agama tersebut termasuk ke dalam Agama Hindu. Memasuki permukiman penduduk, suasana religi Agama Kaharingan begitu terasa bagi saya. Dengan keramahan penduduknya, saya menikmati suasana permukiman yang terdiri dari rumah panggung tersebut.
Saya lalu mengunjungi kediaman salah satu perangkat Desa Pondok Damar, Bapak Nengadi. Beliau merupakan Kepala Urusan (Kaur Umum) yang mendampingi saya mengunjungi ruang-ruang religi Desa Pondok Damar. Beliau yang kemudian menjelaskan kepada saya terkait objek-objek Agama Kaharingan yang saya kunjungi berikut ini.

Rumah Panggung
Rumah panggung merupakan model mayoritas rumah di Desa Pondok Damar. Lantai rumah penduduk pada umumnya berada lebih dari 40 cm dari bahkan mencapai 1 m dari permukaan tanah. Bagian bawah lantai dasar tersebut merupakan ruang kosong. Untuk mencapai teras atau pintu rumah, pada umumnya terdapat anak tangga pada bagian depan rumah tersebut.

Sapundu
Pertama kali memasuki area permukiman Desa Pondok Damar, saya terkesan dengan tiang-tiang yang terdapat di sebagian besar rumah penduduk. Bahan tiang tersebut ialah kayu ulin yang dapat bertahan hingga ratusan tahun.
“Tujuannya ya, agar tahan lama.” Jelas Bapak Nengadi kepada saya saat kami mengunjungi area pemakaman.
Tiang-tiang tersebut dibentuk menjadi manusia yang berdiri di atas linkaran kayu. Tinggi tiang tersebut berbeda-beda. Wujud manusia pada tiang tersebut dilukis dengan cat kayu menjadi wujud seni yang cantik. Manusia tersebut dilukis menjadi bag menggunakan pakaian khas Suku Dayak.
Sapundu dibuat saat persiapan pemakaman atau upacara kematian jenazah yang disebut upacara tiwah. Sapundu dibuat berpasangan yang sebagian diletakkan di samping Sandung dan sebagian lainnya, yang merupakan tempat mengikat hewan kurban pada upacara tiwah, diletakkan pada lokasi lainnya. Setiap Sapundu yang diletakkan di samping Sandung dihadapkan ke arah matahari terbenam atau ke arah barat. 
Sapundu yang dipersiapkan untuk mengikat hewan kurban dan Sandung 




Sapundu yang diletakkan di samping Sandung 

Raong
Selain Sapundu, terdapat rumah kecil di halaman depan, di hampir semua rumah penduduk. Rumah kecil ini disebut raong (baca: raung). Pada raong tersebut terdapat kendi atau wadah abu jenazah. Raong merupakan salah satu jenis sandung.
Raong 
Balai Basarah dan Balai Ritual
Dari kediaman Bapak Nengadi, saya diantar untuk mengunjungi tempat ibadah Agama Kaharingan di Desa Pondok Damar tersebut. Tempat sederhana tersebut disebut dengan Balai Basarah. Kepada saya, Bapak Nengadi menjelaskan terkait kitab yang digunakan Agama Kaharingan, yaitu Kitab Panaturan. Selain Balai Basarah, saya juga didampingi untuk  mengunjungi Balai Ritual. Pada balai ini dilakukan rapat-rapat adat. 
Balai Basarah di Desa Pondok Damar

Balai Ritual di Desa Pondok Damar
 Sandung Tulang
Bagian paling menarik dari perjalanan saya ini ialah saat mengunjungi area pemakaman pemeluk Kaharingan tidak jauh dari permukiman penduduk. Area pemakaman ini berlokasi tepat di seberang Balai Ritual dan Balai Basarah. Pada area ini terdapat Rumah-Rumah Betang mini yang terbuat dari kayu ulin. Masing-masing rumah dilukis dengan motif yang berbeda-beda. Rumah inilah yang disebut Sandung Tulang, yaitu tempat tulang belulang jenazah. Tempat ini diperuntukkan bagi satu keluarga yang mengikuti garis keturunan ayah.
“Hanya ahli waris yang berhak masuk ke dalam situ.” Kata Bapak Nengadi.
Di samping kiri dan kanan Sandung terdapat tiang Sapundu. Pada Sandung tersebut juga terdapat keranjang yang dibuat dari bambu. Tanggal wafat jenazah tertera pada Sandung tersebut. Sandung juga dibuat dengan Kayu Taliben. Tidak heran jika terdapat Sandung yang usianya sudah ratusan tahun.


Berbagai tipe Sandung di Desa Pondok Damar
 
Lungun
Ketika saya berkunjung ke desa tersebut upacara tiwah bagi salah satu penduduk tengah dipersiapkan. Sayapun berkunjung ke rumah duka. Di ruang depan rumah panggung tersebut, lungun (peti jenazah) diletakkan. Lungun  tersebut berbentuk seperti perahu mini yang dilukis pada bagian luarnya. Pada lungun inilah jenazah disemayamkan sembari menunggu hari pemakaman atau upacara tiwah tiba. 



*Dipublikasikan di Majalah Solid Edisi 51/2012

Kamis, 16 Februari 2012

WADONAN UNTUK ANUGERAH

Dingin, menusuk sampai ke tulang rasanya. Segar. Aroma alam yang menyejukkan. Naik turun bergelombang perjalanan ini. Di daratan berbukit itu. Harum aroma badan sapi. Harum aroma…kotorannya. Inilah desa penghasil biogas, Desa Bendosari.
Mata-mata itu melihat kami seolah rombongan festival yang ramai. Ya, memang ramai, tapi bukan festival. Kalah dari ramainya hajatan yang sedang diselenggerakan di tanah sapi itu. Mata itu ketika bersitatap dengan mata kami, bagai perintah untuk menampilkan senyum dan menganggukkan kepala. Hangat ramah masyarakatnya di balik usia kanak-kanak sampai tua bangka.
Mereka berduyun-duyun. Barisan depan sumringah, tampil cantik dan tampan dengan hiasan-hiasan wajah sampai badan. Pakaian adat bermacam-macam yaang menunjukkan identitas ‘Wong Jowo’. Dari tingkat kemewahan terlihat barisan depan itu petinggi-petinggi desa. Lalu rakyat jelata dengan membawa hasil bumi mengekorinya.
Aku dan teman-teman tertarik untuk mendekat ke Tempat Kejadian Per…eh bukan! Upacara! Tanganku langsung tergerak untuk merogoh recorder di tas cangkolongku. Sebagai seorang jurnalis, aku dituntut untuk selalu membawanya. Ah…. Kucari siapa tokoh adatnya.
Sebuah prosesi menarik pun diselenggarakan pada Selasa Kliwon di Bulan Julhijah itu. Sebuah upacara yang disebut Bersih Desa. Tapi bukannya membersihkan selokan, menyapu jalan, dan sebagainya. Tapi, membersihkan diri dari sifat takabur akan nikmat Yang Kuasa.
Kemarin mereka berduyun-duyun ke sumber kehidupannya. Sumber air…. Sebut saja Sumber Air Anugerah namanya. Mereka menanam tiang-tiang Bumi. Pepohonan yang kelak akan menjadi kekar bugar, penyimpan air yang kaya. Rasa syukur itu ialah rasa syukur atas sumber air yang mereka miliki itu.
“Setiap malam akan digelar acara tahlilan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. sambil mendoakan pemuka-pemuka desa kami yang telah wafat.” Ujar Pak Kades itu kepada para wartawan termasuk aku.
Kupikir, religi, jiwa keagamaan, keislaman masyarakat desa ini cukup besar. Tapi tungggu dulu!
Kerbau yang diarak itu telah dikuliti. Di sekitarnya menjadi harum amis. Tapi anugerah bagi penduduk desa karena sebentar lagi dagingnya akan segera mereka nikmati. Mereka bagikan daging kerbau betina itu. Tapi…. Hanya saja…. WADONAN…. Kelamin betina…. Kerbau itu. Tak turut menjadi hidangan bagi penduduk. Tapi… menjadi hidangan bagi…. Sumber Air Anugerah! Si Anugerah! Bukan hidangan. Tapi SESAJI! PERSEMBAHAN! Ada apa dengan itu???
“Nah, kalau yang itu saya tidak tahu maknanya. Yang jelas, itu adalah tradisi yang tidak bisa ditinggalkan.” Terang Pak Kepala Suku, eh… tokoh adat perihal wadonan alias kelamin betina itu.
Akupun menerawang tentang ulama-ulama yang menyebar Islam dengan wayang. Akupun teringat akan kotroversi tahlil, antara Islam dan budaya nenek moyang, Hindu-lah, atau animisme yang belum bisa ditinggalkan. Yang konon katanya, ada yang menyebut sirik itu. Apakah “wadonan” dalam syukur yang terwujud pula dengan reboisasi itu sama halnya dengan yang itu? Wadonan…. Ah…. Syukur…. Ah…. Reboisasi…. Ah…. Air…. Ah! Sumber kehidupan Ah! Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah.
Ditulis oleh: Ummu Rahayu pada 6 Maret 2011 (10 besar Kompetisi Menulis Flash Fiction On The Spot, Forum Lingkar Pena Malang)