Rabu, 30 September 2015

Eco-mapping Bersama KANCIL

Pulang kampung kali ini terasa berbeda. Saat membaca aksi Komunitas Anak Muda Pecinta Lingkungan di sebuah koran, saya tiba-tiba punya ide. Rencana ini sebenarnya sudah lama ada di kepala, sejak bergabung dengan Move Indonesia di event Green School Festival (GSF). Cuma, masih belum ketemu cara murah meriah untuk menerapkan Eco-mapping di Kota Sampit.

Saya pikir, ini saatnya membagi ilmu gratis tanpa rempong. Artinya, saya tidak perlu membuat proposal, negosiasi ke mana-mana, dan sebagainya. Saya telusuri seberapa jauh komunitas ini sudah berjalan. Seberapa besar kegiatan dan materi yang diberikan.

Awalnya, sekedar berbagi apa yang pernah saya pelajari saat kuliah dan nimbrung jadi juri di lomba eco-mapping untuk sekolah-sekolah se-Kota Malang. Iseng-iseng tidak berhadiah begitu.

Saya like laman facebook-nya, saya add pembinanya. Saya tuturkan keinginan via inbox. Alhamdulillah, beliau yang bernama Suwarno, seorang guru ini sangat welcome. Besoknya kami bertemu di markas, bersama Pembina lainnya, Bapak Kholid, jurnalis sebuah media massa.

Diputuskan, kegiatan berlangsung dua hari tidak penuh. Wilayah studi di area Taman Kota Sampit. Saya punya waktu dua hari membuat materi. Modul GSF saya sederhanakan lagi dalam power point, juga saya sesuaikan dengan konteks ruang publik.

Sore Sabtu itu, saya presentasikan sekilas teori lingkungan hidup serta kondisi dunia saat ini. Terkait eco-mapping, saya jelaskan sembilan isu yang pernah digunakan Move Indonesia untuk berbagai sekolah di Kota Malang. Gambar, contoh masalah, potensi, dan penyebab saya perdalam lagi. Saya tambah dengan topik yang belum pernah diberikan pada anggota KANCIL. Misalnya, Earth Hour, diet kantong plastik, aksi cabut paku, mengapa sampah harus dipisah, dan lain-lain.

Sesi Materi di Markas Kancil
(dok. kancil)
Malamnya, saya siapkan peta dan karton. Satnite saya lewati dengan mengumpul foto kondisi terbaru taman. Pulang ke rumah, citra di-trashing menggunakan ArcGIS. Sempat bingung mau pakai A3 atau A4. Mana ada jasa printing kertas besar di kota ini, apalagi tengah malam. Mau memaksa cetak besar, takut tinta printer tak kuat. Jadi, A4 saja lah.

Hari kedua, Minggu pagi, di tengah kabut, kami beraksi. Sebagian besar peserta tidak hadir saat sharing materi kemarin. Saya membawa bahan-bahan yang mampu saya bawa, pembina juga membantu perlengkapan lainnya. Sama-sama swadaya.

Setelah briefing, para laskar itu merayap, mencari masalah dan potensi lingkungan hidup Taman Kota Sampit. Karena sumber daya yang terbatas, satu kelompok memegang dua isu. Dengan masker mereka berdiskusi.

Awalnya banyak yang bingung bagaimana mempraktikkan metode ini. Bagaimana menuliskannya? Dengan panah. Apa yang harus ditulis? Oh, ternyata ada masalah yang belum kalian sadari. Oh, ternyata sisi ini ada potensi tersembunyi. Wah, kalian melewatkan kondisi gawat. Hei, satu kelompok menemukan bungkus obat terlarang.
Briefing dan menyiapkan perlengkapan.
(dok. kancil) 

Tiap kelompok memetakan isu lingkungannya.
(dok. kancil) 

Seharusnya, peserta membuat skoring saat melihat suatu kondisi. Rupanya, semua kelompok baru bisa melakukannya pada sesi diskusi tim. Karena kurangnya peralatan, kode masalah kami ganti dengan tanda silang pada lingkaran skoring. Potensi ditulis dengan centang atau cek.

Kami tidak melakukan penilaian aksi karena KANCIL baru pada tahap pemetaan. Sementara, di GSF, peserta juga mulai melakukan perbaikan lingkungan. Penjurian lomba mencakup sejauh mana usaha dan partisipasi warga sekolah untuk memecahkan masalah dan memanfaatkan potensi.

Ada sensasi tersendiri rasanya, ke sana-kemari mendatangi tiap kelompok, memancing ide mereka. Asap sedikit pudar kala siang makin naik. Mereka mulai membicarakan sebab masalah dan solusi tiap kondisi. Beberapa grup agak kaku dalam membagi porsi kerja. Seorang leader bingung memancing anggotanya untuk berpikir. 
Sekali-sekali mengarahkan.
(dok. kancil) 
 
Cafe ide
(dok. kancil) 
Hingga tiba saatnya, mau tidak mau semua harus presentasi, meski ada yang belum sampai pada tahap ide. Tiap tim mempresentasikan hasil temuannya. Prosedur ini beda dengan sistem dari Move Indonesia. Sebenarnya, mereka harus rolling tim dalam waktu 2-3 menit tiap putaran. Ada penjaga dan pengunjung stand.

Agar peserta lebih mudah paham, kami putuskan presentasi bergilir, ada sesi tanya jawab. Beberapa kelompok punya ide lebih luas, seperti memasang alat siram otomatis. Ada kelompok yang tidak menyadari panel surya.

Beberapa salah kaprah mana ekspektasi, mana solusi. Sadarnya masyarakat memang jadi tujuan, tapi bagaimana cara menyadarkannya? Satu kelompok menitik-beratkan pada sanksi pemerintah. Ada juga yang berpikir masalah disebabkan kurang perhatian dinas terkait. 
Presentasi yang penuh canda.
(dok. ummu) 
Senang rasanya melihat anak-anak muda ini berdebat saat sesi tanya-jawab. Sebagian memberi masukan ide dan menyesuaikan dengan temuan kelompoknya. Dua sampai tiga anak dominan mendebat kawannya.

Senang rasanya melihat pemikiran kritis itu. Mengapa Anda hanya memikirkan sanksi? Bukankah kesadaran harus datang dari hati? Mengapa Anda hanya bisa menyalahkan pemerintah? Apa yang bisa Anda lakukan untuk menyelesaikan masalah ini? Sudahkah memulainya di rumah?

Hahahaha, apalagi, diskusi dilakukan dengan ceria, dalam suasana humor. Renyah tapi tetap berkualitas. Pak Suwarno membiarkan saja, barangkali agar naluri kritis mereka terasah.

Memang, metode yang diberikan pada siswa ini lebih menekankan pada ide jangka pendek. Apa yang bisa dilakukan sementara ini? Solusi yang tidak perlu banyak uang tapi lebih efektif. Jadi pemikiran tidak melulu berujung pada beli, beli, dan beli.

Hari semakin panas. Lucunya, semua memayungkan karton ke kepala, tapi masih semangat berdebat. Dukung saja. 
Meski panas menyengat, tangan semangat terangkat: interupsi!
(dok. ummu)  
Praktik kali ini hanya sampai pada peta tiap isu. Keterbatasan waktu membuat peta kesimpulan belum memungkinkan dibuat. Mereka bisa melanjutkan di markas pada pertemuan selanjutnya, termasuk menghias peta. 

Saya kira, ilmu ini hanya sampai pada KANCIL saja. Alhamdulillah, ada rencana dari kedua pembina untuk mendorong peserta menerapkan eco-mapping di sekolahnya. Mudah-mudahan kegiatan ini bisa jadi lomba antar-sekolah juga.

Alhamdulillah, metode ini dipandang tepat untuk siswa-siswi merencanakan pengelolaan lingkungan hidup di sekitarnya. Pemetaan tersebut sejatinya pelajaran saya di kuliah (Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota) dengan tahap analisa yang lebih kompleks. Syukurlah ada yang menyederhanakan teknik ini untuk SD hingga SMA. 
Seluruh peserta.
(dok. ummu)  
Eco-mapping dalam GSF sudah dibakukan namanya menjadi Green Environmental Mapping (GreEnvilMap). Semoga metode ini semakin merebak di Kota Sampit. 

4 komentar: