Bersabarlah selagi bisa bersabar. Bersyukurlah
orang-orang yang bisa sabar kepada mereka yang telah melahirkan dan
membesarkannya. Ada yang pernah bilang, semakin tinggi usia, semakin besar
cobaannya, terutama pada orang tua. Benar lah itu.
Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan diri
saya. Saat jauh dari orang tua, di perantauan, hati ini begitu rindu. Ingat
akan wajah lelah mama. Senyum serba salah saat menyikapi saya yang beranjak
dewasa.
Tapi saat pulang, lembut mesra hanya terjalin
beberapa hari saja. Selebihnya, orang tua kembali cerewet, suka menyuruh
anaknya. Wajar, ya wajar, karena kepada siapa lagi orang tua meminta tolong
selain anaknya? Apalagi, anak perempuan, tempat pihak ibu lebih suka bekerja
sama dengan dia. Tunggal pula.
Sering saya merasa tidak tega lalu menuruti saya
apa mau mereka, juga menemani kalau jalan-jalan. Cuma, lama-lama saya merasa
terganggu. Semakin nyaman mereka menyuruh saya, semakin mereka berpikir saya
tidak pernah keberatan. Padahal, dalam hati ini sering kesal. Agenda kegiatan
yang biasa bebas saya laksanakan di kota rantau, sering kacau oleh persoalan
orang tua.
Salah? Saya sadar saya salah. Merasa berdosa,
iya. Kadang saya bingung, bagaimana jadi anak soleh seperti dalam sinetron.
Begitu mudah, begitu lembut, begitu sabar kepada orang tuanya. Menuntut,
merawat, menemani, memperhatikan. Itu ada pada saya tapi begitu melakukannya
saya merasa terganggu.
Sering saya kelepasan kesal menanggapi mereka.
Atau, berbohong demi menghindari suruhan orang tua. Kadang saya ingin mereka
mengerti, bahwa masih ada anak lain di rumah ini. Bisakah tidak bertumpu pada
saya saja?
Bersabarlah selagi bisa, kepada orang tua. Saya
sangat ingin memilikinya namun amarah ini kerap jebol.
Ada satu balasan yang nyata saat kasar kepada
orang tua, yaitu perasaan bersalah. Mungkin inilah siksa dunia yang datang
lebih awal. Rasa itu begitu mengiris hati.
Setelah ketus atau berbohong pada orang tua, ada
penyelasan yang dalam menyerang pikiran saya. Apalagi saat melihat wajah letih
ibunda pulang kerja. Jalannya yang tertatih-tatih, dengan ubannya yang memutih.
Ya Allah… Ampuni aku.
Rasa inilah yang terus menghantui hingga kembali
terpisah jauh lagi. Nampaknya, lebih baik dimarahi orang tua daripada harus
menahan perih sesal telah berbuat jahat kepadanya. Rasa itu kadang menyiksa,
terbawa tidur, menitikkan air mata. Ingin membalasnya sekarang juga dengan
sejuta perbuatan baik dan tidak akan pernah mengulangi lagi. Hanya saja,
perbuatan durhaka itu terjadi lagi, lagi, dan lagi.
Apa ini cobaan bagi anak yang telah dewasa? Apa
di sini bukti seorang anak bisa membalas kasih sayang kepada orang tua saat dia
masih kecil? Kiranya, seorang hamba bisa memohon disabarkan kepada Allah SWT.
Maka, saat Anda masih bisa menahan emosi dalam menghadapi orang tua, jangan
curi kesempatan mengiris hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar