Penulis
harus suka baca dan rajin baca. Well, itu hukum alam. Tanpa banyak
membaca, tulisan akan kering, membosankan. Biasanya terlihat dari gaya bahasa
yang standar, cara deskripsi begitu-begitu saja, atau masalah yang diambil
kurang menarik. Kalau dalam non-fiksi, biasanya, argumen normatif kekurangan data. Mengapa
ada tulisan yang mengambil masalah sederhana dengan gaya bahasa sederhana
justru nyaman dibaca? Elegan. Itu karena mereka juga sudah bayak baca. Jadi
ingat prinsip Steve Jobs, kita bisa membuat sesuatu yang sederhana setelah
membuang yang tidak sederhana. Biasanya kesederhanaan yang berasal dari kekayaan berpikir
akan elegan, contohnya lihat saja karya fesyen dunia.
Jadi begini, saya baru sadar kekurangan sendiri. Bukan mau nyombong nih ya.
Enam tahun yang lalu saya diwejangi seseorang yang saya anggap guru hingga
sekarang, senior saya di salah organisasi kepenulisan bernafas Islam, bahwa
tulisan berkualitas hanya dihasilkan oleh bacaan berkualitas. Beliau pun
mencekoki saya dengan karya para sastrawan baik nasional maupun dunia, plus
para pemenang Nobel. Karya-karya yang bikin pusing pala Barbie waktu itu.
Sebelumnya, bacaan saya seputar yang bagi orang-orang nyastra garis keras itu
bukan karya sastra.
Baca buku 'keras' pun jadi kebiasaan kemudian jadi nyaman di kepala saya. Malah
kalau baca karya yang lebih ringan sebutlah yang untuk anak sekolah sedang
jatuh cinta, saya merasa tulisan itu aneh.
Waktu semakin berjalan, saya jadi semacam Ratu At*t yang harus update
tas sampai hijab branded, bedanya, gandrungan saya pada buku langka
(pemenang kompetisi dan mendapat penghargaan bergengsi tapi bukan
gengsi-gengsian). Tak ada duit, tergiur bajakan, dulu... dulu....
Hari ini saya buka salah satu grup sosial media binaan sebuah penerbit di Jogja,
tentang suatu majalah remaja yang menerima fiksi pendek aka flash fiction. Saya
baca beberapa cerita di dalamnya, waw... sederhana tapi dekat dengan kehidupan
sehari-hari, katakanlah anak remaja yang salah masak jahe jadi kencur saking
tidak tahunya, ada lagi kotak makan yang ternyata dari laki-laki idamannya
padahal remaja ini tidak cantik menurut orang. Setitik masalah sederhana,
dengan bahasa sederhana tapi penceritaannya tidak bisa ditebak akhirnya,
membuat penasaran.
Saya jadi mikir, mmmmm nulis itu ternyata tak usah ribet-ribet ya, misal sampai
ngubek Google ke halaman pencarian sekian puluh, jadi kutu perpustakaan, atau
pakai investigasi segala. Belum lagi memikirkan dialog menawan yang pikiran
harus melayang ke awan dulu dalam membuatnya. Setiap orang memang punya
spesifikasi, kesukaan, dan misi masing-masing dalam tiap jenis karya. Apapun
bobotnya yang penting menuai manfaat kan?
Di samping baca yang berat-berat bin njlimet kata orang Jawa, baca karya yang
sederhana ada hikmahnya. Buat penulis pemula jadi sadar kalau memulai langkah
tidak harus dengan tulisan yang meroket dulu. Dari situ bisa jadi kebiasaan
lalu naik naik ke puncak gunung, eh semakin meningkatkan level maksudnya.
Beberapa teman saya yang sering juara nasional bahkan internasional yang
tulisannya sering nongol di media massa, adalah pembaca buku beragam dari berat
sampai santai. Bahkan mereka bisa menulis karya 'nyastra' dan karya anak
sekolahan.
Betul juga, terlalu banyak baca buku berat bisa bikin stres. Selingan
buku humor, personal literatur, atau slice of life cucok juga biar otak
kita lebih rileks. Toh dari tiap bacaan akan ada informasi yang memperkaya
wawasan kita.
Well, jadi begitu, tulisan simpel untuk bisa berpikir simpel.
Aku miskin bacaan, Mbak. Tapi apa aja aku sukak... sukak minjem maksudnyah :p
BalasHapusDari tulisan ini, sepertinya kita memang kudu terus baca sambil nulis. Terus... terus... terus...
Membaca hati kayanya anti stres juga, Mbak :p
Ah massaakkkk nggak percaya aku Poppy miskin bacaan. Yuhu, sepakat, mestinya nulis terus daripada cuma bayangin kapan bisa bagus kayak yang dibaca :v
BalasHapus